PNS LIFE: Latihan Dasar Bela Negara

Latihan Berganda
Menjadi aparatur sipil negara tak lantas membuat hidup kita (saya) lepas dari hal-hal tak terduga yang sebelumnya tidak pernah terlintas dalam pikiran. Latihan Bela Negara (kemudian disingkat menjadi LBN), misalnya. Pertengahan tahun 2018 ini genap 3 tahun saya menjadi aparatur sipil negara. Ritme hidup pun sudah mulai terbaca: mulai kerja pukul 08.00 WIB, pulang rata-rata pukul 18.00, sesekali lebih larut. Hanya ada beberapa diklat besar yang saya antisipasi 2-3 tahun mendatang. Oleh karena itu, saya berpikir hidup saya akan datar-datar saja.

Namun suatu hari Surat Perintah mengikuti LBN datang, membuat ritme hidup kami para ASN sedikit berbeda. Di angkatan saya sendiri, terdapat pro dan kontra (tentu saja lebih banyak kontranya) terhadap LBN tersebut. Namun namanya panggilan negara, mau tidak mau pada akhirnya harus dijalani juga. Bagi saya sendiri, LBN menjadi sarana untuk istirahat sejenak dari rutinitas kantor yang terkadang menjemukan.

Pelaksanaan LBN berlangsung selama 8 hari di Pusdikkes Kodiklat TNI AD Kramat Jati, Jakarta Timur. Jumlah siswa di angkatan saya 103, terdiri dari unit pusat dan daerah. 103 siswa tersebut dibagi menjadi 2 kompi; kompi A dan kompi B di mana masing-masing kompi dibagi menjadi 2 peleton; peleton A1 dan A2, peleton B1 dan B2. Setiap siswa dibekali dengan seragam PDL berwarna hijau, sepatu dan kaos kaki PDL, botol veples, kopel (sabuk), dan topi rimba. Hingga saat ini sejujurnya saya masih 'amazed' dengan botol veples yang tidak bau plastik meskipun cuma sekali bilas. Jadi ceritanya pertama kali mendapatkan botol veples ini, saya enggan memakai karena terbayang kalau beli botol Lock&Lock atau Tupperware saja butuh sekian kali cuci sampai bau plastiknya benar-benar hilang. (Apalagi veples ini yang dari bentuknya saja sudah plastik sekali hehe). Seragam dan kelengkapan ini harus selalu dipakai selama kegiatan LBN. Perlengkapan tersebut juga ditambah dengan senjata yang harus dijaga (bahkan dibawa ketika tidur) jenis senapan panjang.
Seragam dan perlengkapan (minus sepatu PDL dan senapan)

Menariknya, memakai sepatu PDL ternyata tidak mudah. Keras, kaku, pokoknya sulit dipakai, apalagi diantara jadwal yang begitu padat. Senjata yang kami bawa-bawa pun ternyata beratnya mencapai 5 kg. Demi apapun saya hormat sekali dengan orang yang setiap  hari memakai semua perlengkapan itu.

Menilik penjelasan pada Surat Panggilan LBN dari Pusat Pengembangan SDM, LBN ini bertujuan untuk: (i) meningkatkan jiwa nasionalisme, mental kejuangan, profesionalisme, jiwa korsa, cinta tanah air, dan loyalitas pada korps/insitusi; (ii) membentuk karakter sesuai budaya organisasi, integritas pribadi yang beretika, mental juang yang berorientasi pada kepentingan bersama; serta (iii) membentuk mental ketahanmalangan yang tinggi, mempunyai keberanian/nyali yang tinggi dalam melaksanakan tugas dan menegakkan fungsi pengawasan obat dan makanan di seluruh wilayah NKRI.

Apakah tujuan di atas tercapai? Mungkin iya, mungkin belum sepenuhnya. Namun saya yakin kurikulum dari Pusdikkes Kodiklat TNI AD dibuat sedemikian rupa demi tercapainya tujuan tersebut. Dalam kurikulum angkatan kami yang hanya 8 hari, LBN terdiri dari 30% materi kelas serta 70% materi lapangan.
Beberapa materi kelas yang kami dapatkan antara lain:
  1. Kesadaran Disiplin 
  2. Kerukunan Hidup Antar Umat Beragama
  3. Mental Ideologi Kejuangan
  4. Wawasan Nusantara
  5. Ketahanan Nasional
  6. Tata Negara/Tatanan Bela Negara
  7. Longmalap (Pertolongan Pertama di Lapangan)
Favorit saya adalah materi kesadaran disiplin, wawasan nusantara, dan longmalap. Sedangkan materi lapangan yang kami dapatkan meliputi PBB, PBB dengan menggunakan senjata, langkah deville, tim building, navrat (navigasi darat), mountaineering dan tali temali, aklimatisasi, BDM (Bela Diri Militer), dan sebagainya (tidak hafal. Kalau ada komandan pasti sekarang sudah push up. Hehe). Seluruh materi yang kami dapatkan tersebut akan berguna ketika kami menjalani Latihan Berganda di Tajur selama 2 hari 1 malam.

Oh, iya, semua pembina di LBN kami panggil dengan sapaan "Komandan", bukan "Pak/Bu". Sekali keceplosan memanggil Pak/Bu bersiaplah untuk mendapatkan kalimat "Sejak kapan saya jadi Bapakmu/Ibumu". Dan tentu saja hanya bisa dijawab dengan "siap, salah Komandan!". Saya kagum dengan bagaimana semua hal di Pusdikkes bisa tertata dan teratur. Selalu ada tata cara di hampir setiap hal termasuk yang terlihat remeh seperti masuk ruangan, izin ke belakang/kamar mandi, bertemu dengan pimpinan/rekan, menginterupsi saat pelajaran, dll. Hal-hal yang membuat saya tertampar, "Oh ternyata sikap saya selama ini masih ada yang kurang patut loh" meskipun mungkin sebenarnya bukan sikap yang buruk, tetapi sikap tersebut masih bisa diperbaiki.

Gambaran aktivitas LBN secara umum, kami bangun pagi pukul 03.00 WIB dan bersiap-siap untuk senam di lapangan dengan seragam (dan senjata) lengkap pada pukul 04.00. Selanjutnya salat subuh berjamaah dan sarapan pada pukul 05.20. Dilanjutkan kegiatan kelas ataupun lapangan hingga malam sekitar pukul 22.00. Dengan adanya apel malam, peralihan tanggung jawab piket atau ketua kelas, keharusan mandi dan mencuci pakaian/sepatu bila kotor, biasanya saya tidur pukul 00.30. Setiap malam, ada tugas jaga serambi yaitu 2 siswa bergantian berjaga di serambi barak (per jam) hingga pagi. Ada pula piket barak yang bertanggung jawab untuk membersihkan barak (sapu, pel, mengurus sampah, dan membersihkan kamar mandi).

Materi lapangan tidak melulu baris berbaris, yang ini misalnya

Sungguh hari pertama kedua rasanya berat sekali menjalani aktivitas (sebagian besar) fisik dengan waktu tidur kurang dari 3 jam. Namun hari ketiga dan keempat saya mulai bisa beradaptasi, bahkan menikmati kegiatan yang dijadwalkan. Satu-satunya hal yang terus terasa berat hingga hari keenam adalah "makan"! Saya tak bisa makan banyak, alhasil makanan di ompreng/tray saya selalu bersisa. Pernah suatu kali saya mendapatkan tindakan (istilah untuk konsekuensi yang harus kita tanggung akibat kesalahan) karena tidak sanggup menghabiskan snack pagi. Tindakannya sih ringan, rasa malunya yang lebih berat.

Kembali lagi ke LBN, dua hari terakhir kami tidak tinggal di barak Pusdikkes tetapi berkemah di Tajur, Bogor. Kegiatan ini sangat menggembirakan hati, entah karena kami dipertemukan dengan dunia di luar Pusdikkes atau karena hal tersebut menandakan pelatihan hampir usai. Yang jelas, saya pribadi mulai bisa makan enak (meskipun tidur tidak nyenyak karena hanya beralas rumput).
Di Pelatihan Berganda di Tajur tersebut, ada kegiatan Caraka Malam dan HTF. Semua pelajaran yang sudah kami dapatkan di Pusdikkes akan diujikan kembali di Tajur. Namun tentu saja Caraka Malamnya bukan jalan sendirian diantara semak belukar hutan di gunung. Kami berkelompok, diberi misi khusus, dan berjalan dari pos ke pos di dalam hutan dengan mengikuti tali sebagai petunjuk. Caraka Malam selesai pukul 01.00 WIB. Kami tidur sebentar untuk esok harinya mulai lagi kegiatan hingga sore.
Navigasi darat mengunakan kompas

Bagi saya pribadi, banyak hal baru dan hal baik yang dipelajari. Kesan yang paling saya dapatkan adalah pentingnya disiplin diri dan loyalitas terhadap korps/institusi. Bahwa bagaimana pun keadaannya, kita harus selalu loyal pada pimpinan, pada rekan kerja, dan pada bawahan.
Saya merasakan sekali nuansa saling hormat menghormati dan taat pada perintah selama tinggal di Pusdikkes. Hal tersebut membuat saya introspeksi diri, merenungkan bahwa selama ini sikap saya mungkin masih jauh dari sosok bawahan dan rekan kerja yang baik. LBN ini juga membuat saya lebih mengenal rekan-rekan kerja dari pusat dan daerah, mempelajari berbagai sifat manusia, dan kemudian memperbaiki sifat dan karakter diri sendiri.

Hal lain yang saya apresisi dari sistem pendidikan di Pusdikkes adalah komitmen untuk berdoa tepat waktu. Setiap adzan berkumandang, kami segera berbaris rapi dan menuju masjid untuk sholat berjamaah. Bagi yang beragama selain islam, diberi waktu untuk berdoa bersama di tempat yang berbeda. Sebelum masuk LBN saya selalu terpikir akankah bisa salat dengan baik mengingat jadwal yang begitu padat dan kondisi diri yang pasti kurang layak karena kotor (tidak cuma keringat, sesekali tanah). Namun seminggu di sana nyatanya selalu ada waktu untuk salat, meskipun ketika di Tajur kondisinya jauh lebih sulit dibandingkan di barak.

Di penghujung pendidikan, saya justru merasakan keterikatan emosional dengan Pusdikkes dan para komandan yang membina kami. Ada perasaan beruntung, haru, dan bangga karena saya pernah menjadi siswa di korps tersebut. Semoga hal-hal baik yang kami dapatkan bisa terus diingat dan diaplikasikan. Semoga kebaikan para Komandan dan Guru Militer di Pusdikkes Kodiklat TNI AD dibalas dengan kebaikan yang lebih besar. Amin.
Kompi B, berfoto dengan Komandan Ghofar, Komandan Agus, Mayor Aang, Komandan Radit, Komandan Ginting, Komandan Radiansyah

Sebagai penutup, saya ingin menuliskan beberapa bait lagu yang diajarkan oleh Komandan Ghofar. Lagu paling berkesan karena kami pernah dibuat jalan jongkok karenanya, haha.

Olesio manise (olesio manise)
Olesio siomanise (olesio siomanise)
Mama tinggal di rumah, beta pergi sekolah
Olesio, siomanise~

Ketika kapal berlabuh di dermaga
Badan POM selalu siap sedia,
Senjata garand melintang di dada,
Ransel-ransel menghiasi tulang punggung.

Walau makan ubi dan jagung,
demi membela tanah air,
Kalau ada yang tanya siapa Dansat kita
Kami jawab: MAYOR AANG!

Jika tua nanti kita telah hidup masing-masing, ingatlah hari ini (Project Pop)

Catatan: Beberapa foto bukan milik saya tetapi diambil oleh para komandan.
Oh, ya. Selama pelatihan kami tidak memiliki akses pada ponsel. Ponsel dan dompet sementara diamankan oleh para Komandan. Kami hanya boleh memegang kartu BPJS dan uang sebesar Rp. 100.000,-

CONVERSATION

0 comments:

Posting Komentar

Back
to top