Akhir pekan kemarin saya tergerak untuk membuka kembali buku "Very Good Lives" yang ditulis oleh J.K. Rowling. Sejak pertama membaca pada tahun lalu, saya langsung tahu bahwa suatu saat buku ini akan kembali dibaca, terutama ketika butuh pengingat yang ringkas tetapi mengena. "Very Good Lives" ini sebenarnya adalah pidato J.K. Rowling yang disampaikan di acara wisuda Universitas Harvard. Ada dua hal utama yang J.K. Rowling sampaikan yaitu tentang belajar dari kegagalan dan pentingnya imajinasi.

J.K. Rowling adalah idola saya sejak SD, dan saya bertambah kagum ketika dalam pidatonya di depan mahasiswa Harvard, salah satu tema yang ia angkat adalah tentang 'kegagalan', bukannya berfokus pada pentingnya kesuksesan. Dia menyampaikan bahwa tidak ada hal yang perlu ditakutkan dari kegagalan karena hal tersebut justru membebaskan. Jatuh ke dasar jurang membuat kita bisa meninggalkan hal-hal yang tidak penting. Dan bukankah dasar jurang menjadi pondasi yang kuat untuk membangun kembali apa-apa yang penting?

Tentang "Imajinasi", sebelum membaca buku ini saya mengira J.K. Rowling akan menyampaikan pentingnya imajinasi untuk menemukan hal-hal baru, seperti ia yang menemukan (lalu menciptakan) dunia sihir Harry Potter. Namun tidak, J.K.Rowling justru terlihat sekali sisi humanisnya di sini. Imajinasi yang ia maksud adalah membayangkan kita berada di posisi orang lain, atau dengan kata lain, J.K. Rowling menekankan pentingnya berempati. Tanpa ada kemampuan berempati, sudut pandang jadi terbatas dan rasa 'benar sendiri' akan semakin besar. Kemampuan berempati dapat menjadi titik tolak untuk memperbaiki diri sendiri dan memperbaiki orang lain, dalam hal ini membantu mereka yang lebih tidak beruntung.

Berbicara di depan mahasiswa Harvard (yang bisa jadi momen kegagalan mereka adalah definisi sukses bagi sebagian besar manusia), J.K. Rowling memilih untuk mengangkat tema yang humanis dan menghangatkan hati. Bukan tema yang menggebu-gebu dan mendorong lulusan universitas terbaik ini untuk segera mewujudkan ambisinya satu demi satu (lalu menjadi manusia sukses namun tanpa empati dan manfaat bagi sekitar). Saya semakin yakin bahwa J.K. Rowling 'thoughtful' sekali.

Semoga saya selalu ingat pesan baik J.K. Rowling di buku ini, dan tidak menjadi bagian dari orang-orang yang memilih tidak menggunakan imajinasinya. Orang-orang yang memilih untuk menutup mata dan telinga dari kenyataan dan keadaan orang lain, dan meringkuk dalam kenyamanannya sediri.

Tangerang, 25 Maret 2020

Libur nyepi diantara kebijakan WFH

NTR

Social Media

I was having a conversation with my colleague when finally asked him why didn't he update his social media in this FOMO era. He answered shortly: It's more comfortable for me to do so.

He has Instagram, Facebook, and Twitter account but he said he only uses them in order to know recent social issues/public opinion. He only has a post on his IG account. His twitter's last update was on 2015, and his Facebook barely lives. His explanation surprises me because everyone is trying to get public attention on their social media, don't they?

I made my Instagram account last year, it was so late considering this platform started at 2010 and got rapid popularity afterwards. I often find myself being indecisive about uploading a new photo on my Instagram. Bunch of questions come to my mind: is this interesting to my followers? Would they think that I try to show off? Sometimes I don't give a f and go on with uploading new post thingy, most of the time I resist the urge to post everything on social media.

Conversation with my colleague reminds me about how important to stick on our values and what's important in our live.

Mindfulness

On other occasion, I asked my husband: how to stop hating (some) people? He said: See the context. In some occasion they may be annoying, but they can't be annoying all the time. 

He answered lightly but, for me, it's utterly hard to apply. The conversation continued but in the end of it I still couldn't figure how to stop hating some people. The following day I decided to re-read Mindfulness published by Harvard Business Review. I found that some chapters of this book help me understand of what my husband said.

Mindfulness is important because it constructs emotional agility. Knowing that some people personality doesn't fit us and accepting them are halfway to train our emotional agility. And I know I've reached this point. But more importantly, I have to act based on my values so I could be unhooked from the difficult thoughts/emotions. That's the hardest part. For me, being mindful is a lifetime learning, and I'm still far away from having that personal trait.

I have those days when I couldn't control my facial expression and my words burst into tears. I have those days when I'm feel tiny and insignificant, and it drains me emotionally. When those days come, I wish I would always remember to stop a while, take some deep breath, and focus on what I can do. I wish I always remember to examine my feeling with compassion, and not being too hard on myself.

Image: Freepik.com

Saya memulai mengetik unggahan ini seusai menulis beberapa target dan harapan tahun 2020 di buku yang baru dibeli dari Gramedia kemarin.

Januari 2019 rasanya baru beberapa minggu yang lalu. Saya belum sempat mengajukan proposal S2, belum sempat membaca Better than Before yang sudah dibeli dari entah kapan, belum berberes kamar dan melakukan decluttering, belum berani menyetir jauh, belum belajar banyak di kantor, tapi Januari 2020 telah datang. Kalau diingat-ingat, tidak banyak hal besar yang terjadi di hidup saya selama tahun 2019. Hidup berjalan seperti biasa. Sungguh sesuatu yang tak bisa terlalu dibanggakan mengingat kultur masa kini yang menuntut generasi saya untuk berfokus pada pengembangan diri, self-love, mengejar mimpi, dan seterusnya.

Saya sedikit banyak berharap tahun ini berbeda. Jika tahun 2019 bisa dibilang masa adaptasi, saya ingin tahun 2020 adalah masa saya untuk berlari. Target-target 2020 yang tadi pagi saya tuliskan di buku memang tidak jauh dari urusan pribadi dan keluarga, dan sekitarnya (sedikit), dan jika ditarik benang merah, seluruh targetan itu terhubung oleh satu hal yaitu kebutuhan menemukan kembali diri sendiri. Bagi saya, target hidup bukan tentang keinginan menjadi lebih baik dari orang lain (meskipun kalau dipikir-pikir perasaan itu ada juga), tetapi sudah menjadi kebutuhan dasar bagi keberadaan saya (saya tertawa dalam hati ketika mengetik ini, semoga saya tidak terdengar ambisius).

On a serious note, target tak ubahnya peta bagi saya. Saya sempat enggan menuliskan so-called-resolusi tahun 2020, tapi kemudian ingat bahwa tanpa target (peta) saya bisa kehilangan diri sendiri, dan itu rasanya sangat tidak menyenangkan. Mempertanyakan diri sendiri, insecure, dan merasa terancam setiap kali orang lain mencapai sesuatu. Tahun ini saya berusaha fokus pada diri sendiri, menjadi pemimpin bagi diri sendiri sehingga bisa disiplin dalam menjalankan komitmen yang sudah ditulis di awal tahun.

Kalaupun nantinya ada beberapa yang tidak terpenuhi, tidak apa-apa. Semoga tetap ada pelajaran yang bisa diambil.

Tangerang
03 Januari 2020
Sambil menunggu hujan reda