ULASAN BUKU: The Book of Imaginary Beliefs

Judul Buku: The Book of Imaginary Beliefs
Penulis: Lala Bohang
Penerbit: PT Gramedia Pustaka Utama
Jumlah Halaman: 152 halaman
Tahun Terbit: 2019 (Februari)

The belief that one's own view of reality is the only reality is the most dangerous of all dellusions. (Paul Watzlawick)

Kutipan psikolog Austria-Amerika tersebut menjadi pembuka buku The Book of Imaginary Beliefs. Menurut saya, pilihan kutipan pembuka ini cukup brilian karena memiliki pesan yang kuat dan berhasil mengkondisikan persepsi pembacanya.

The Book of Imaginary Beliefs memiliki konsep yang sama dengan 2 kakaknya, The Book of Forbidden Feelings dan The Book of Invisible Questions, yaitu illustrated book yang berisi isi pikiran penulis yang terkesan acak namun sebenarnya membawa pesan tersendiri. Saya bukan (belum) menjadi fan Lala Bohang, tetapi melihat buku ini di rak Gramedia, rasanya ada kewajiban untuk menyelesaikan apa yang saya mulai. Bagi yang pernah melihat review singkat saya di Goodreads mungkin ingat bahwa saya tak terlalu menikmati membaca buku pertama (The Book of Forbidden Feelings) karena buku tersebut terlalu dark dan depresif bagi saya. Konsistensi saya mengikuti buku Lala Bohang didorong keinginan untuk mengetahui secara keseluruhan sepak terjang Lala Bohang di dunia literasi. Saya percaya beliau adalah artist dan penulis yang berpotensi sehingga saya tidak ingin menilai dari satu buku saja.


Buku kedua Lala Bohang yang saya baca, The Book of Invisible Questions ternyata bisa sangat saya nikmati meskipun tetap saja tak terlalu paham makna ilustrasi di bukunya. Ataukah memang tidak ada satu makna tunggal dari suatu ilustrasi yang seharusnya ditangkap oleh penikmatnya? Entah, saya kurang paham seni. Buku kedua membuat saya bisa sedikit banyak terhubung dengan apa yang dipikirkan dan dirasakan Lala Bohang. Maka ketika The Books of Imaginary Beliefs terbit, saya tak ragu untuk mengambilnya dari rak Gramedia.

Saya menyelesaikan buku ini dalam waktu kurang dari 24 jam. Selain karena tak terlalu tebal, juga karena saya membaca di akhir pekan yang relatif lebih banyak waktu luang. Selama membaca, ada beberapa halaman yang membuat saya melankolis. Terutama di bagian-bagian di mana Lala Bohang mengingatkan bahwa manusia adalah 'breathing meat' yang sangat ringkih. Keringkihan tersebut misalnya tergambar pada subjudul "Psychological Struggle" dan "How to Have a Good Cry. Beberapa halaman lain buku ini menyadarkan saya bahwa kita bukanlah 'special snowflake' karena setiap orang memiliki prioritas dan pilihannya masing-masing.

Saya merasa ada banyak pesan yang ingin dimasukkan Lala Bohang, termasuk tentang minimalisme, inferioritas, dan keberanian menghadapi ketakutan. Juga tentang mengelola luka dan menjadi manusia dewasa. Tak lupa Lala Bohang mengingatkan kita untuk tidak terlalu keras pada diri sendiri tak peduli bagaimana rupa, keadaan, dan perasaan kita saat ini. "Oh, stop being so hard on yourself," katanya.
Pesan yang terlalu banyak dan terkesan acak tersebut membuat pembaca (saya tentunya) skip pada beberapa hal yang kurang relate. Jenis buku yang isinya fragmented semacam ini membuat saya tak bisa menilai cara penulis dalam menyampaikan alur cerita yang agak panjang. Mungkin saya akan tetap mengikuti Lala Bohang dan menantikan buku yang berisi satu kisah saja. Atau sudah ada (?)

Saya yakin ada banyak hal yang belum saya tangkap dari The Book of Imaginary Beliefs, beberapa halaman saya baca begitu saja tanpa paham betul maksudnya. Tapi saya akan menuruti Lala Bohang untuk tak terlalu keras pada diri sendiri. Meskipun favorit saya masih buku sebelumnya, namun The Book of Imaginary Beliefs ini jadi salah satu buku yang mungkin akan saya baca ulang suatu saat nanti.


CONVERSATION

0 comments:

Posting Komentar

Back
to top